Kepemudaan






 Di tengah geliat dinamika peningkatan dan penyesuaian kapasitas masyarakat baik individu maupun komunal. Penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat di luar sekolah (out of school community) nampak berbanding negatif dengan keberadaan institusi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan yang dikenal dengan pendidikan nonformal dan informal sekarang ini. Institusi pemerintah di tingkat pusat yang membantu mentri pendidikan untuk urusan pendidikan bagi masyarakat di luar sekolah ini sekarang dinamakan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, (Pendidikan) Nonformal dan Informal (PAUDNI), Kementrian Pendidikan Nasional.

      Sejarah awal institusi yang menaungi bidang pendidikan di masyarakat selain pendidikan formal di sekolah ini bermula dari pembentukan Departemen Pendidikan Masyarakat tanggal 1 Juni 1946. Departemen ini merupakan unit kementrian pendidikan saat itu yang bertanggung jawab dalam memenuhi tiga kebutuhan, yaitu: pemberantasan buta huruf, penyelenggaraan kursus keterampilan dan pengembangan perpustakaan masyarakat. Ketiga kebutuhan ini merupakan prioritas utama yang dirasakan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia yang baru merdeka. Seperti disadari saat itu, pencapaian pendidikan dasar seperti kecakapan baca-tulis-hitung, begitu juga keterampilan ‘kerja’ kebanyakan masyarakat masih sangat rendah. Sedangkan perpustakaan sebagai ‘lumbung pengetahuan’ diharapkan mampu menyegarkan pengetahuan dan kapasitas masyarakat setiap saat.
Selama sepuluh tahun terakhir, perubahan semakin tidak dapat dihindari terhadap institusi yang mengelola pendidikan di masyarakat ini. Ketika kabinet pembangunan era orde baru, tanggung jawab pendidikan di masyarakat yang dinamakan pendidikan luar sekolah (PLS) berada satu atap dengan kegiatan pemberdayaan pemuda dan pendidikan olah raga yakni di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga (PLSPO).

Di awal era reformasi, pengelolaan PLS dipisahkan dari pemberdayaan pemuda dan pendidikan olah raga sejalan dengan penetapan Kementrian Negara Pemuda dan Olahraga. Bahkan tidak cukup itu saja, sejalan dengan pemberlakukan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) penggunaan nama PLS pun disesuaikan menjadi pendidikan nonformal (PNF) termasuk Informal, maka kemudian resmi ditetapkan Dirjen Pendidikan Nonformal dan informal (PNFI).
Perkembangan berikutnya dalam satu tahun terakhir, masih didasari oleh UU Sisdiknas yang sama, Dirjen PNFI sebagai institusi pemerintah yang mengelola sumber daya, personil dan anggaran termasuk menyusun kebijakan PNF kembali disesuaikan menjadi Ditjen PAUDNI. Perubahan ini ditengarai sebagai perujudan prioritas dan keinginan pemerintah untuk urusan PNF agar lebih fokus pada pendidikan anak usia dini (PAUD). Kenyataan di masyarakat pada saat awal kelahiran Ditjen PAUDNI ini, hampir semua tenaga akademisi, praktisi dan personil PNF getol dengan penuh semangat mengusung dan menggerakkan beragam program PAUD, berbeda dengan urusan pendidikan nonformal dan informal.
Padahal apabila melihat muatan UU Sisdiknas terutama kategori pendidikan nonformal secara khusus, terdapat jelas delapan kategori yaitu pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, serta pendidikan kesetaraan. Semua itu, tidak termasuk satu kategori pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Sehingga apabila sekarang ditetapkan PAUDNI, sebagian masyarakat menduga, siapa tahu kelak di kemudian hari akan dijumpai dirjen pendidikan kecakapan hidup nonformal dan informal (PKHNI), pendidikan kepemudaan nonformal dan informal (PKNI), pendidikan pemberdayaan perempuan nonformal dan informal (P3NI), pendidikan keaksaraan nonformal dan informal (PakNI), pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja nonformal dan informal (PKPKNI), serta pendidikan kesetaraan nonformal dan informal (PSNI).
Nampak bahwa pengelolaan pendidikan masyarakat di luar sekolah masih belum optimal setidaknya masih dirasakan ada kesan pertarungan politis yang melatarbelakangi kepentingan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dilihat dari dua paradigma pendidikan formal scholastic dengan paradigma hakekat pendidikan seumur hidup.
Kewajiban belajar merupakan salah satu dari ujud nyata dan bukan tujuan dariEducation for All (EFA) itu sendiri. Sehingga tugas pemerintah belum selesai sekalipun telah menuntaskan kewajiban pendidikan dasar sembilan tahun bagi seluruh rakyatnya. Serupa dengan pencapaian derajat keaksaraan masyarakat, tugas pemerintah untuk membebaskan ‘illiteracy’ belum berakhir sekalipun derajat melek huruf ini sudah tidak digunakan sebagai variabel dalam kalkulasi indeks pendidikan dalam laporan tahunan badan PBB untuk pembangunan atau UNDP. Laporan tahunan ini mengurutkan seluruh negara berdasarkan peringkat indeks pembangunan manusia, dan sejak tahun 2010 tidak lagi menghitung angka melek huruf suatu negara.
Spektrum pendidikan bagi masyarakat di luar sekolah mencakup hampir seluruh segi pengembangan kapasitas seseorang dan masyarakat secara massal. Kapasitas ini meliputi penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dibutuhkan sepanjang seseorang menjalani kehidupan serta berinteraksi di tengah masyarakat. Ternyata pula, spektrum pendidikan bagi masyarakat ini memiliki kemasan beragam mulai dari kegiatan sosialisasi, penyuluhan, bimbingan, hingga konseling dimana menyediakan ruang interaksi pembelajaran antara sumber belajar dan peserta belajar.
Relasi pembelajaran yang dialami oleh masyarakat di luar sekolah mencakup proses yang direncanakan secara sengaja oleh nara sumber termasuk provider, sebagaimana kegiatan pendidikan pada umumnya yang juga didasari kesengajaan peserta untuk belajar. Akan tetapi, sering pula relasi pembelajaran ini menyediakan kesempatanyang tidak disengaja oleh peserta belajar, seperti dalam contoh: kampanye tertib lalu lintas, promosi produk baru hingga sosialisasi kebijakan publik, dimana peserta tidak menyadari keterlibatan sejak awal, berbeda dengan keterlibatan peserta dalam kursus atau pelatihan yang secara sadar dan sengaja dipilih.
Spektrum yang ditawarkan oleh relasi pembelajaran serta urgensi kebutuhan muatan belajar masyarakat di luar sekolah telah menciptakan dukungan dimensi pelaku dan penyedia pendidikan untuk masyarakat. Oleh karena itu, tugas dan intervensi pemerintah dalam bentuk regulasi pendidikan untuk menyelenggarakan kegiatan pendidikan bagi masyarakat di luar sekolah perlu melibatkan pelaku sekaligus institusi penyelenggara baik itu lembaga masyarakat, lembaga pemerintah hingga lembaga swasta.
Dalam menyikapi masalah pelaksanaan dan dukungan praktek pendidikan di masyarakat luar sekolah, sudah tepat jika dapat ditetapkan regulatoreksekutor danprovider dengan menyederhanakan dan merampingkan duplikasi peran institusi yang berkepentingan untuk meningkatkan pengetahuan, mengembangkan kecakapan dan sikap baru. Dan jika benar, urgensi peningkatan kapasitas diri seseorang dan masyarakat secara komunal adalah tanggung jawab pemerintah di bidang pendidikan dan bukan hanya praktek formal di sekolah semata. Maka, penghargaan yang sangat tinggi diberikan jika kesadaran untuk mendidik masyarakat di luar sekolah menjadi keprihatinan akademisi, dan praktisi yang menggeluti paradigma formal scholastic.